Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Usaha Data Center Menjadi Primadona Bisnis

Usaha data center atau pusat penyimpanan data, makin seksi di mata banyak investor karena menjanjikan keuntungan besar, jika layanan disewa banyak pihak. Banyak entitas binis Indonesia yang butuh keamanan dan kenyamanan penyimpanan data, yang selama ini menyimpannya di data center negara lain.

Data center merupakan penyimpanan sistem komputer dan elemen-elemen lainnya yang masih berkorelasi antara yang satu dengan lainnya dan masih berhubungan dengan data perusahaan.

Sebagai usaha padat modal persyaratannya sangat ketat, yang harus dipenuhi terutama yang masuk dalam tier 4, paling tinggi. Tier adalah tingkatan teknologi dan keamanan dari data center. Kehandalan tier 4 harus 99,995 persen, yang untuk pembangunan gedungnya harus jauh dari daerah patahan gempa, punya dua sumber tenaga listrik dan UPS (uninterrupted power supply), gedung yang lantainya ditinggikan sebagai ruang tersembunyi untuk perkabelan dan kelistrikan (raised floor), tidak di kawasan permukiman.

Lahan yang digunakan pun harus luas. Satu data center yang baru mulai beroperasi, misalnya MettaDC di Jababeka, Jabar, membutuhkan lahan seluas 10.800 meter persegi dengan bangunan berlantai tiga.

Demikian pula perusahaan data center terbesar Indonesia saat ini, DCII, Data Center Internasional Indonesia.

Tetapi lahan yang luas, bangunan tinggi dan kokoh, kelengkapan bagus dengan biaya pembangunan triliunan rupiah, tidak menjamin pasti sukses menjaring banyak penyewa.

Beda dengan apartemen, perumahan, atau bangunan perkantoran yang ditawarkan lebih dahulu sebelum dibangun. Data center harus dibangun dulu, komplet dengan isinya baru bisa ditawarkan.

Yang paling sering dituntut calon penyewa adalah sesedikit mungkin orang yang dipekerjakan di gedung data center.

Faktor yang umum dipertimbangkan calon penyewa adalah kepercayaan, yang dikaitkan dengan pengalaman si pemilik dalam mengelola data center.

Banyak Peluang

Saat ini penggunaan atau konsumsi data per kapita Indonesia masih sangat rendah, hanya satu watt per penduduk, atau kapasitas data center keseluruhan hanya 270 MW untuk 270 juta penduduk.

Kalau akan ditingkatkan menjadi 10 watt per penduduk, dibutuhkan pusat data yang berkapasitas 2,7 GW (giga watt) yang nilainya pembangunannya sekitaran 15 miliar dollar AS, atau kurang-lebih Rp 225 triliun.

Pemerintah juga melihat peluang bagus untuk penyediaan pusat data dan merancang pembangunan 4 pusat data kelas tier 4. Di Bekasi, Batam, Ibu Kota Negara (IKN) di Penajam Passer, dan Labuan Bajo, NTT.

Ke depannya di kawasan 3T (tertinggal, terdepan dan terluar) sebagai kewajiban layanan pemerintah (USO, universal servive obligation) juga akan dibangun pusat data setelah infrastruktur penghubung berupa serat optik (FO) digelar.

Gelaran FO di Indonesia sudah sepanjang 460.000 kilometer, termasuk puluhan ribu kilometer Palapa Ring yang digelar di bawah laut yang akan menghubungkan pusat data dengan sistem data di tempat pelanggan.

Dari ratusan ribu panjang FO yang sudah digelar, belum banyak yang mampu menjamah kawasan 3T.

Data IDPro (Asosiasi Penyedia Jasa Data Center) menyebutkan, kebutuhan data center kita sangatlah besar. Namun tahun 2021, kapasitas data center Indonesia baru mencapai 65 MW. Baru pada akhir tahun ini diperkirakan menjadi 115 MW.

Indonesia tertinggal jauh dalam bisnis pusat data dari negara-negara tetangga. Singapura yang penduduknya tak sampai 5 juta punya pusat data berkapasitas 600 MW dan 70 persen penyewanya perusahaan Indonesia yang diperkirakan “memakan” 400-an MW di antaranya.

Tetap kosong

Keadaan ini ikut merangsang konglomerat tajir Indonesia membangun pusat data. Mereka akan membujuk para penyewa Singapura untuk pulang, yang secara sepintas tampaknya mudah.

Apalagi jumlah pusat data sudah makin banyak sehingga persaingan antar-pusat data makin tajam yang membuat harga sewa makin murah. Batam dan Cikarang, Bekasi, saat ini menjadi sasaran investor untuk membangun pusat data baru, karena konektivitasnya cukup handal.

Dari sejumlah investor, PT MettaDC Teknologi termasuk yang baru saja membuka pusat data di kawasan Jababeka berkapasitas 30 MW menelan biaya 200 juta dollar AS atau sekitar Rp 3 triliun.

Mengikuti kebutuhan dan keinginan calon penyewa, MettaDC membangun dengan kualifikasi tier 4. Mereka mempekerjakan pegawai hanya sebanyak 20 orang di luar satpam.

Data center lokal bagi penyewa domestik diyakini memberi banyak kemudahan, antara lain biaya yang lebih efisien dibanding Singapura. Namun Singapura yang sudah keburu membangun 600 MW dan berpotensi kehilangan pelanggan untuk 400-an MW pastinya tidak akan tinggal diam.

Di sisi lain lagi, pertumbuhan kapasitas pusat data yang sekitar 11 persen hingga 13 persen setahun bukan jaminan bahwa semua yang terbangun akan mendapat pelanggan.

Terutama pelanggan pindahan, yang kemungkinan akan minta persyaratan khusus, layanan tier 4 tetapi tarif tier 2, setidaknya tier 3, yang lebih murah.

Di tengah kegairahan pemodal membangun pusat data karena bayangan modal yang cepat kembali, saat ini banyak pusat data yang sudah berdiri tetapi masih tetap kosong karena tidak mampu menarik pelanggan.

Selain soal kepercayaan calon pelanggan, pemilik pusat data tidak dapat meyakinkan calon pelanggan soal pemenuhan persyaratan tier 4, sementara pelanggan tidak mau masuk data center tier di bawahnya.

Penulis: Moch S. Hendrowijono
Editor: Sandro Gatra
COPYRIGHT: Kompas.com
Tanggal akses: 29/10/2022

Sumber : https://tekno.kompas.com/read/2022/10/28/17225617/data-center-bisnis-yang-seksi

Posting Komentar untuk "Usaha Data Center Menjadi Primadona Bisnis"